Wawasan Kebangsaan untuk Menuju Negara yang "Baldatun Toyyibatun wa Robbun Ghoffur"

Oleh : Abi Mursalat

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS Al A'raaf, 7:96)

Pembukaan
Di panggung sejarah sudah banyak kita lihat bagaimana timbul-tenggelamnya peradaban suatu bangsa. Ada saatnya suatu kaum / bangsa menjadi jaya raya berkuasa, namun beberapa generasi kemudian "gulung tikar" hilang bagai ditelan bumi. Namun tidak sedikit pula kaum yang berabad-abad tertindas, kemudian bisa berubah menjadi bangsa yang merdeka. Namun kemudian merosot kembali menjadi sengsara, bahkan tertindas oleh bangsa yang lebih kuat.

Penemuan prasasti Ebla (2500 SM) oleh para arkeolog di Timur Tengah pada 1975, merupakan salah satu bukti bahwa kisah yang dituliskan dalam Al-Qur'an itu betul-betul terjadi. Bukan merupakan dongeng bagi anak-anak menjelang tidur. Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Yusuf, (yang artinya) : "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS Yusuf, 12:111)



Wawasan Kebangsaan
Ir. Sukarno, penggali Pancasila yang menjadi dasar falsafah bangsa Indonesia, menyebutkan bahwa bangsa (nation) merupakan sekumpulan masyarakat yang hidup bersama di suatu wilayah (geopolitik) yang memiliki kesamaan sejarah dan cita-cita bersama. Kemudian dalam usahanya untuk menyatukan bangsa kita yang terdiri dari berbagai ragam suku bangsa, budaya, dan kepercayaan, dibuatlah semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", dan Pancasila sebagai landasan dasar dalam berbangsa dan bernegara.

Setelah melalui berbagai perdebatan dan pertimbangan dari para pendiri bangsa, ditetapkanlah sila pertama adalah KeTuhanan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa bangsa kita mengakui superioritas Tuhan, yang menciptakan, mengendalikan dan berkuasa penuh terhadap manusia. Hal itu sesuai dengan berbagai ayat dalam Al-Qur'an, antara lain pada Surat 112 (Al-Ikhlas) dan Surat 2 (Al Baqarah), yang artinya : "Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa." (QS Al-Ikhlas, 112:1) "Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS Al-Baqarah, 2:163). "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS Al-Baqarah, 2:21-22)

Mohammad Hatta pernah mengatakan, bahwa sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persamaan bahasa dan persamaan agama saja. Bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu. Yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama dan kesengsaraan bersama. Pendeknya karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak.

Namun apa yang kita lihat akhir-akhir ini sungguh amat memprihatinkan. Kebersamaan dan kerukunan sebagai dasar wawasan kebangsaan terus-menerus mulai tergerus. Dis-integrasi terjadi dimana-mana, dalam berbagai skala. Baik yang kecil maupun besar: perkelahian antar kelompok, kampung, suku, bahkan mengatasnamakan agama. Ada juga daerah yang ingin merdeka, melepaskan diri dari NKRI. Semuanya mengarah pada perpecahan bangsa yang sungguh mengkawatirkan.

Kalau masalah kebangsaan ini tidak segera kita atasi bersama, mungkin tak lama lagi bangsa ini hanya tinggal nama. Negerinya terpecah belah, budayanya terjajah, tidak ada lagi kesenian daerah. Dan mungkin saja anak-cucu kita malu mengaku pernah dilahirkan di Indonesia. Sungguh tragis.
"Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu." (QS Yunus, 10:19)

Pelajaran dari Al-Qur'an
Gambaran sebuah negeri yang subur makmur dan aman seperti yang dilukiskan dalam Al-Qur'an, Surat Saba' (34). Negeri Saba' yang dibangun di selatan jazirah Arab pada abad ke-11 SM, adalah sebuah peradaban besar. Naskah tertua yang ditemukan arkeolog, menyatakan keberadaan Kaum Saba adalah catatan tahunan dari zaman raja Assyria, Sargon II.

Saba', adalah negeri yang melakukan kegiatan perniagaan, dan sejumlah jalur perdagangan terpenting di utara Arab ada dalam kekuasaannya. Penduduk Saba' terkenal dalam sejarah sebagai bangsa berperadaban tinggi. Prasasti dari para penguasa Saba' seringkali berbicara tentang "perbaikan", "pembiayaan", "pembangunan". Dan kemudian mereka populer menjadi contoh negeri yang : "Baldatun Toyyibatun wa Robbun Ghoffur".
"Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda kekuasaan Tuhan di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang dianugerahkan Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. Negerimu adalah negeri yang baik dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Pengampun." (QS Saba', 34:15)

Saba' adalah nama suatu kabilah dari kabilah-kabilah Arab yang tinggal di wilayah Yaman. Mereka mendirikan kerajaan yang terkenal dengan nama kerajaan Sabaiyyah, ibu kotanya Ma'rib. Negeri itu dapat membangun suatu bendungan raksasa, yang bernama Bendungan Ma'rib (tinggi 16 meter, lebar 60 meter, dan panjang 620 meter). Bendungan itu menghubungkan 2 dataran, sehingga selama 1500 tahun negeri Saba' subur, makmur dan aman sentosa. Reruntuhan bendungan itu sampai kini masih bisa dilihat, menjadi bukti penting adanya kemajuan teknologi kaum Saba' pada waktu itu.
"Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan aman." (QS Saba' / 34:18)

Namun rupanya kemewahan dan kemakmuran itu menyebabkan kaum Saba' lupa dan ingkar kepada Allah yang telah melimpahkan nikmat kepada mereka. Dan mereka mengingkari pula seruan Rasul, bahkan mereka menyembah matahari. Padahal Ratu Saba' pernah tunduk kepada ajaran Nabi Sulaiman As. Namun kemudian beberapa generasi berikutnya mulai ingkar, dan kembali menyembah matahari. Karena itulah Allah menimpakan kepada mereka adzab berupa banjir besar yang ditimbulkan oleh runtuhnya bendungan Ma'rib (542 SM). Seluruh negeri diratakan oleh banjir dahsyat. Perkebunan anggur dan kebun-kebun kaum Saba' tiba-tiba lenyap terbenam air. Kemudian negeri Saba' menjadi kering dan kerajaan mereka hancur-lebur. Kaum Saba' pun tercerai-berai. Mereka tinggalkan rumah-rumah mereka dan mengungsi ke wilayah utara Arabia, Mekkah dan Syria.
"Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab yang demikian itu, melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir." (QS Saba', 34:16-17)

Kembali Kepada Tuhan YME
Sebagian dari tanda-tanda hukuman Tuhan sudah kita lihat bersama menimpa negeri tercinta ini. Berbagai macam bencana yang menelan ribuan korban, bahkan sampai kini masih berlangsung di Sidoarjo dan berbagai daerah lainnya. Perpecahan yang terus terjadi tak berkesudahan, baik antar masyarakat bawah maupun di antara kaum elit dan pimpinan negeri. Bencana yang datang dari atas dan bawah itu, baik di alam maupun strata sosial, persis dengan yang telah dilukiskan dalam Al-Qur'an, surat Al-An'am :
"Katakanlah: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan yang saling bertentangan, dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahaminya." (QS Al-An'am, 6:65)

Melihat tanda-tanda yang sudah diberikan Tuhan seperti itu, tak ada hal lain yang bisa kita lakukan agar selamat, selain kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena semua itu sebagai peringatan, bahkan hukuman kepada kita yang telah mulai melalaikan perintah Tuhan. Maka yang bisa menolong kita hanyalah Tuhan semata. Bukan yang lainnya. Sebelum semuanya menjadi terlambat, marilah kita berusaha bersama.
"Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS Ar-Ra'd, 13:11)

Walau pun mayoritas penduduk NKRI adalah Islam, bukan berarti negara ini harus berazaskan Islam. Bentuk negara kesatuan itu sudah merupakan keputusan final. Hal itu sudah difikirkan para pendiri bangsa sebelum negeri ini merdeka. Hasilnya dirumuskan dalam Piagam Jakarta, yang kemudian menjadi Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dengan menghilangkan beberapa kata saja. Yakni "dengan mewajibakan menjalankan Syari'ah Islam bagi pemeluknya". Keputusan itulah yang terbaik bagi bangsa yang terdiri dari berbagai macam kepercayaan. Nabi pun tidak pernah diperintah untuk memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Dia hanya diutus untuk memberitakan kabar gembira, yang bisa membimbing manusia dari jaman kegelapan (jahiliyah) ke alam yang terang benderang (Nur Ilahi).
"Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Baqarah, 2:256)

Tujuan utama negeri ini adalah melindungi segenap warga dan tanah air, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut menjaga ketertiban dunia. Tugas itu bukan hanya beban pemerintah saja, tapi kita semua wajib berusaha, sesuai dengan kemampuan. Kalau hanya menggantungkan kepada pemerintah saja, bisa berakibat fatal, karena seperti kita ketahui tidak semua aparat bisa dipercaya. Bahkan banyak di antaranya yang terlibat KKN dan berbagai tindak pidana lainnya. Walau mereka ada yang terbebas dari penjara, namun Tuhan Yang Maha Adil akan meminta pertanggungan jawab mereka di akhirat.
"Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar, agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya." (QS Al-An'aam, 6:123). "Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya," (QS Al-Muddatstsir, 74:38). "dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab." (QS Az Zukhruf, 43:44).

Hendaknya usaha mulia itu dimulai dari diri kita masing-masing, sekeluarga. Mari kita mulai gerakan mendekatkan diri kepada Ilahi. Kita atur kehidupan dan penghidupan kita, agar selaras dengan ajaran Tuhan. Kita bimbing anak-anak untuk mengenal tanah air, baik geografinya, sukubangsa, seni budaya, dsb. Kita sadarkan bahwa cinta tanah air itu merupakan bagian dari iman. Dan ketaatan kepada imam maupun ulil amri yang beriman merupakan perintah dari Tuhan.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS An-Nisa', 4:59)

Mengenai perbedaan fisik, baik warna kulit, suku, bahasa, seni budaya, agama dsb. itu merupakan fitrah. Justru menjadi asset bangsa yang mirip pelangi, indah dipandang dan membawa kesuburan. Perbedaan itu bukanlah hal yang perlu dipertentangkan. Bahkan rasa kesukuan, kedaerahan itu sudah dilebur dengan dikumandangkannya "Sumpah Pemuda" dibarengi dengan alunan Indonesia Raya, jauh hari sebelum negeri ini merdeka.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS Al Hujuraat, 49:13)

Dan yang perlu terus diupayakan adalah bagaimana supaya Pancasila itu betul-betul menjadi nyata dalam kehidupan berbangsa, bernegara maupun dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya sebagai jimat ideologi saja, yang diletakkan di lemari kaca, indah dipandang, tapi tidak diamalkan. Soal bagaimana kita harus merealisasikan Pancasila, Bung Karno berkata : "Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan - menjadi realiteit - jika tidak dengan perjuangan! Janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan! Marilah kita sama-sama berjuang. Marilah kita sama-sama bangga menjadi orang Indonesia !"

Penutup
Untuk mencapai negri yang memenuhi kriteria "Baldatun Toyyibatun wa Robbun Ghoffur", yang dalam pewayangan digambarkan sebagai "Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo", bukanlah suatu hal yang mudah. Namun perlu diperjuangkan, agar bangsa kita tidak tenggelam ditelan sejarah. Sebagaimana dialami oleh bangsa-bangsa terdahulu. Sebab selain kebahagiaan di akhirat, di dunia pun kita diperintah untuk mencarinya sekuat tenaga.
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi; dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu; dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS Al-Qashash, 28:77)

Sebagai elemen bangsa yang terkecil, keluarga kita haruslah terus dibina dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Agar terus dipupuk iman dan amal sholeh anak kita sejak muda, sehingga rasa bahagia muncul di tengah-tengah keluarga. Kita sebagai kepala keluarga, kepala lingkungan, kepala kantor, kepala usaha, dst. sesuai kapasitasnya, wajib mendidik dan membina anggota keluarganya. Dan dengan pimpinan yang beriman serta amanah, diharapkan negeri ini mendapat ampunan dari Tuhan, dihindarkan dari berbagai malapetaka, menuju negri yang aman sejahtera.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka," (QS At-Tahrim, 66:6). "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat yang baik itu adalah bagi orang yang bertakwa." (QS Thaahaa, 20:132)

0 komentar: